Bim masih koma, kecelakaan dalam perlombaan motor cross yang diikutinya telah menggoreskan begitu dalam duka. Tiara masih setia menemani Bim yang berjuang mempertahankan hidupnya.
“Tiara, istirahatlah dulu. Kalau kamu seperti ini bukan hanya Bim yang menderita tapi juga kamu.”ujar Nares, sahabat mereka berdua.
Tiara menggeleng pelan, “Aku hanya ingin berada di dekatnya, Res. Bim sedang koma sekarang, aku tak ingin meninggalkannya walau sedetikpun.”
“Aku tau Tia, kamu sangat shock dengan keadaan ini tapi...jangan membuat semuanya lebih sulit.”
“Sudahlah, Res. Aku tidak apa-apa kok dan terima kasih atas semua dukunganmu.” Tiara memeluk Nares, tangisnya meledak kembali. Seluruh perasaan tumpah ruah saat itu.
***
Kaki Bim harus diamputasi karena tulang-tulang kakinya remuk dan sudah tak bisa dipergunakan lagi.
“Bagaimana Tiara, apakah kamu akan menerima Bim dalam keadaan cacat seperti ini?” Tanya tante Susi, mamanya Bim. Tiara belum sanggup menjawab, sanggupkah dirinya menghadapi kecacatan Bim?
Matanya menerawang, pikirannya terbang. Tiara mencintai Bim, sangat mencintainya dan apakah cinta itu akan hilang begitu sesuatu hilang dari diri kekasihnya. Tidak.
“Saya akan setia dengan Bim dalam suka maupun duka.Tante, saya janjikan rasacinta saya pada Bim tetap pada kadar yang sama.”
Tante Susi memeluk Tiara, terharu.
“Seandainya Bim mengikuti ucapanmu untuk tidak mengikuti kejuaraan itu, mungkin sekarang dia masih bisa menatap masa depannya dengan percaya diri, sekarang..”ucapan tante Susi terpenggal karena isak.
“Sudahlah, Tante, penyesalan memang selalu ada di akhir. Tapi bagaimanapun juga tidak ada yang perlu ditangisi, semuanya sudah terjadi, yang terpenting sekarang adalah bagaimana semangat Bim terus subur pada kondisi seperti ini.” ujar Tiara dengan begitu bijak.
“Ya Tuhan, terima kasih telah Engkau hadirkan seorang wanita sebaik ini kepada keluarga kami.” Tante Susi mengharu biru, sedang Tiara berusaha menahan sesak dadanya demi Bim. Tiara tak ingin Bim melihatnya sedih.
***....
“Tidak...tidak...aku tidak merelakan sejengkal dari tubuhku diambil dengan paksa.” Bim berteriak dengan histeris.
“Bim ini harus, percuma kakimu tak diamputasi, toh sudah tidak dapat digunakan lagi. Mama janji, Bim, kamu akan mendapat sepasang kaki baru yang lebih indah.” hibur Tante Susi terus jmembujuk Bim yang masih belum mau diamputasi.
“Tidak, Ma..aku ingin kakiku ini....”Bim terguguk, menangis sambil memegang kakinya.
“Bim, Mama sayang kamu dan mama ingin kamu melakukan ini demi mama, juga demi diri kamu sendiri.”
“Mama, mau Bim tidak punya kaki?”
“Bukan itu, sayang, tapi itulah yang harus dilakukan.”
“Bim takut, Ma...”Bim seperti anak kecil saat menangis sambil memeluk Tante Susi, di balik pintu Tiara terisak menyaksikan adegan tersebut.
“Pasti Tiara tak mau lagi dengan Bim, Ma. Tiara sudah melarang Bim untuk tidak berlomba lagi dan Bim mengacuhkannya. Sekarang, Bim sudah mendapatkan akibatnya. Bim akan menjadi cacat.” Ah Bim, desah Tiara, aku bukan hanya kakimu tapi seluruh dirimu yang aku cintai, aku tak keberatan jika kamu harus kehilangan kakimu, aku akan tetap mencintaimu, guman Tiara dalam hati.
“Tiara akan selalu setia padamu, Bim.” Tiara mendekati Bim dengan pasti. Bim menatapnya.
“Benarkah?”Tanya Bim tak percaya, Tiara mengangguk lalu menghambur memeluk Bim.
“Lakukanlah operasi ini, semua akan baik-baik saja,” Tiara mendorong semangat Bim.
“Baiklah.” Akhirnya Bim Setuju.
***
Operasi Bim berjalan lancar, tapi batin Bim masih menyisakan trauma yang dalam. Setiap Bim melihat kakinya dia histeris.
“Sudahlah, sayang. Sebentar lagi kamu akan memakai kaki baru.” hibur Tiara mencoba menekan kekalutan Bim. Bim terus menangis.
“Sekarang aku benar-benar tak berguna!” teriaknya histeris.
“Tidak, aku masih tetap Bimku yang dulu. Tenanglah, kamu akan tetap menjadi Bim yang periang.Bim yang kucintai.”
“Pergilah, Tiara. Pergi!”Tiba-tiba sja Bim mendorong Tiara hingga nyaris jatuh, Bim mengamuk dan mengusir Tiara.
“Jangan kasihani aku, kamu bohong masih mencintaiku, kamu hanya mengasihaniku.Pergi!” teriakan Bim membahana ruangan, kedua orang tua Bim menghampiri kami dan berusaha mencoba menenangkan Bim.
“Pergi semua, biarkan aku sendiri!” Bim mengusir semua orang yang mencoba mendekatinya. Tiara berlari keluar ruangan dengan air mata yang tumpah ruang, hatinya remuk dan lebih sakit dari saat menerima cacat Bim.
***
Keesokan hatinya...
Tiara tidak mendapati Bim di ruangan itu, semuanya sudah bersih tak tertinggal apapun kecuali sebuah amplop biru yang dengan jelas ditujukan untuknya.
Dear Tiara....
Terima kasih untuk seluruh kesetiaan yang kamu berikan untukku. Sungguh, aku malu karena merasa tak memiliki apa-apa lagi untuk aku banggakan padamu. Karena itulah aku memutuskan pergi dari sisimu dengan harapan kamu akan menemukan masa depanmu yang tentunya lebih berarti dibandingkan menjaga seseorang yang tak berguna seperti aku.
Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku pergi. Jangan cari aku, saat kamu membaca suratku ini, aku sudah berada jauh dari Indonesia dengan membawa seluruh cintaku padamu.
Jaga dirimu, aku mencintaimu.
Bim.
Perasaan Tiara terguncang, dia lalu tak sadarkan diri.
(Untuk sebuah perpisahan pada 15 Mei 2003, Bahwa memang bukan perbedaan yang membuat kita berpisah tapi cara kita melihat perbedaan itu sendiri.)
0 komentar:
Posting Komentar